Rabu, 28 Desember 2011
DASAR-DASAR SISTEM PENGELOLAAN PERSAMPAHAN
I.
Pendahuluan
Pengelolaan sampah suatu kota bertujuan untuk melayani sampah yang dihasilkan penduduknya, yang secara tidak langsung turut memelihara kesehatan masyarakat serta menciptakan suatu lingkungan yang bersih, baik dan sehat.
Pada awalnya, pemukiman seperti pedesaan memiliki kepadatan penduduk yang masih sangat rendah. Secara alami tanah / alam masih dapat mengatasi pembuangan sampah yang dilakukan secara sederhana (gali urug). Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala aktivitasnya, sampah tidak dapat lagi diselesaikan di tempat; sampah harus dibawa keluar dari lingkungan hunian atau lingkungan lainnya. Permasalahan sampah semakin perlu untuk dikelola secara profesional.
Saat ini pengelolaan persampahan menghadapi banyak tekanan terutama akibat semakin besarnya timbulan sampah yang dihasilkan masyarakat baik produsen maupun konsumen. Hal ini menjadi semakin berat dengan masih dimilikinya paradigma lama pengelolaan yang mengandalkan kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan; yang kesemuanya membutuhkan anggaran yang semakin besar dari waktu ke waktu; yang bila tidak tersedia akan menimbulkan banyak masalah operasional seperti sampah yang tidak terangkut, fasilitas yang tidak memenuhi syarat, cara pengoperasian fasilitas yang tidak mengikuti ketentuan teknis.
Pada akhirnya berbagai masalah tersebut akan bermuara pada rendahnya kuantitas dan kualitas pelayanan dan tidak diindahkannya perlindungan lingkungan dalam pengelolaan; yang bila tidak segera dilakukan perbaikan akan berdampak buruk terhadap kepercayaan dan kerjasama masyarakat yang sangat diperlukan untuk menunjang pelayanan publik yang mensejahterakan masyarakat.
Untuk dapat mengelola sampah pemukiman atau kota yang sampahnya semakin banyak dengan masalah yang kompleks, diperlukan adanya suatu system pengelolaan yang mencakup lembaga atau institusi yang dilengkapi dengan peraturan, pembiayaan / pendanaan, peralatan penunjang yang semuanya menjadikan suatu system, disamping kesadaran masyarakat yang cukup tinggi.
II. Pendekatan Sistem Pengelolaan Persampahan
Beberapa Prinsip dan Pertimbangan
-
Paradigma lama penanganan sampah secara konvensional yang bertumpu pada proses pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir perlu diubah dengan mengedepankan proses pengurangan dan pemanfaatan sampah.
-
Pengurangan dan pemanfaatan sampah secara signifikan dapat mengurangi kebutuhan pengelolaan sehingga sebaiknya dilakukan di semua tahap yang memungkinkan baik sejak di sumber, TPS, Instalasi Pengolahan, dan TPA.
1
-
Pengurangan dan pemanfaatan sampah sejak sumber akan memberikan dampak positif paling menguntungkan yang berarti peran serta masyarakat perlu dijadikan target utama
-
Sampah B3 rumah tangga perlu mendapat perhatian dalam penanganannya agar tidak mengganggu lingkungan maupun kualitas sampah dalam pengolahan di hilirnya.
-
Karakteristik sampah dengan kandungan organik tinggi (70-80 %) merupakan potensi sumber bahan baku kompos sebagai soil conditioner dan energi (gas metan) melalui proses dekomposisi secara anaerob
-
Daur ulang oleh sektor informal sejauh memungkinkan diupayakan menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah perkotaan
-
Insinerator sebaiknya hanya dilakukan untuk kota-kota yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dalam penyediaan lokasi TPA dan memiliki karakteristik sampah yang sesuai, serta menerapkan teknologi yang ramah lingkungan
-
Tempat Pembuangan Akhir merupakan alternatif terakhir penanganan sampah mengingat potensi dampak negatif yang tinggi. Pemanfaatan secara berulang sebaiknya diupayakan dengan memperhatikan kualitas produk “kompos” yang dihasilkan.
Pada dasarnya pengelolaan sampah ada 2 macam, yaitu pengelolaan/penanganan sampah setempat (individu) dan pengelolaan sampah terpusat untuk suatu lingkungan pemukiman atau kota.
a. Penanganan Setempat
Penanganan setempat dimaksudkan penanganan yang dilaksanakan sendiri oleh penghasil sampah dengan menanam dalam galian tanah pekarangannya atau dengan cara lain yang masih dapat dibenarkan.
Hal ini dimungkinkan bila daya dukung lingkungan masih cukup tinggi misalnya tersedianya lahan, kepadatan penduduk yang rendah, dll.
b. Pengelolaan Terpusat
Pengelolaan persampahan secara terpusat adalah suatu proses atau kegiatan penanganan sampah yang terkoordinir untuk melayani suatu wilayah / kota.
Pengelolaan sampah secara terpusat mempunyai kompleksitas yang besar karena cakupan berbagai aspek yang terkait. Aspek – aspek tersebut dikelompokkan dalam 5 aspek utama, yakni aspek institusi, hukum, teknis operasional, pembiayaan dan retribusi serta aspek peran serta masyarakat.
2
III. Aspek Pengelolaan Sampah
3.1. Aspek Teknis Operasional
1) Komposisi Sampah
Komposisi fisik sampah mencakup prosentase dari komponen pembentuk sampah yang secara fisik dapat dibedakan antara sampah organik, kertas, plastik, logam dan lain-lain. Komposisi sampah ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pilihan kelayakan pengolahan sampah khususnya daur ulang dan pembuatan kompos serta kemungkinan penggunaan gas landfill sebagai energi alternatif.
Sebagai gambaran pada umumnya negara-negara berkembang memiliki komposisi organik yang lebih tinggi dari negara dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Komosisi sampah di Indonesia rata-rata mengandung organik yang cukup tinggi (70 – 80 %) dan anorganik 20 – 30 %
2) Karakteristik Sampah
Data mengenai karakteristik kimia sampah dapat dilakukan dengan cara analisa di laboratorium. Data ini erat kaitannya dengan komposisi fisiknya, apabila komposisi organiknya tinggi, maka biasanya kandungan airnya tinggi, nilai kalornya rendah, kadar abunya rendah, berat jenisnya tinggi. Karakteristik sampah di Indonesia rata-rata memiliki kadar air 60 %, nilai kalor 1000 – 1300 k.cal/kg, kadar abu 10 – 11 % dan berat jenis 250 kg/m3
Data ini penting dalam menentukan pertimbangan dalam memilih alternatif pengolahan sampah dengan cara pembakaran (insinerator). Sebagai contoh sampah yang memiliki kadar air tinggi (> 55 %), nilai kalor rendah (< 1300 kcal / kg), berat jenis tinggi (> 200 kg / m3) tidak layak untuk dibakar dengan insinerator.
3). Sumber Sampah
Ada beberapa kategori sumber sampah yang dapat digunakan sebagai acuan, yaitu:
Sumber sampah yang berasal dari daerah perumahan
Sumber sampah yang berasal dari daerah komersial
Sumber sampah yang berasal dari fasilitas umum
Sumber sampah yang berasal dari fasilitas sosial
Klasifikasi kategori sumber sampah tersebut pada dasarnya juga dapat menggambarkan klasifikasi tingkat perekonomian yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi sampah dan menentukan pola subsidi silang.
Daerah Perumahan (rumah tangga)
Sumber sampah didaerah perumahan dibagi atas :
Perumahan masyarakat berpenghasilan tinggi (High income)
Perumahan masyarakat berpenghasilan menengah (Middle income)
Perumahan masyarakat berpenghasilan rendah / daerah kumuh (Low income / slum area)
Daerah komersial.
Daerah komersial umumnya didominasi oleh kawasan perniagaan, hiburan dan lain-lain. Yang termasuk kategori komersial adalah pasar pertokoan hotel restauran bioskop salon kecantikan industri dan lain-lain
Fasilitas umum
Fasilitas umum merupakan sarana / prasarana perkotaan yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Yang termasuk dalam kategori fasilitas umum ini adalah perkantoran, sekolah, rumah sakit, apotik, gedung olah raga, museum, taman, jalan, saluran / sungai dan lain-lain.
Fasilitas sosial
Fasilitas sosial merupakan sarana prasarana perkotaan yang digunakan untuk kepentingan sosial atau bersifat sosial. Fasilitas sosial ini meliputi panti-panti sosial (rumah jompo, panti asuhan) dan tempat-tempat ibadah (mesjid, gereja pura, dan lain-lain)
Sumber lain
Dari klasifikasi sumber-sumber sampah tersebut, dapat dikembangkan lagi jenis sumber-sumber sampah yang lain sesuai dengan kondisi kotanya atau peruntukan tata guna lahannya. Sebagai contoh sampah yang berasal dari tempat pemotongan hewan atau limbah pertanian ataupun buangan dari instalasi pengolahan air limbah (sludge), dengan catatan bahwa sampah atau limbah tersebut adalah bersifat padat dan bukan kategori sampah B3.
4). Pola Operasional
Pola operasional penanganan sampah dari sumber sampai TPA dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan dan pembuangan akhir
4
Diagram Operasional Penanganan Sampah
Sumber Sampah
Pengumpulan
Composting
Daur Ulang
Insinerasi
Pengolahan
Pemindahan
Pengangkutan
Pembuangan Akhir
Pewadahan
Wadah sampah individual (disumber) disediakan oleh setiap penghasil sampah sendiri sedangkan wadah komunal dan pejalan kaki disediakan oleh pengelola dan atau swasta. spesifikasi wadah sedemikian rupa sehingga memudahkan operasionalnya, tidak permanen dan higienis. Akan lebih baik apabila ada pemisahan wadah untuk sampah basah dan sampah kering
Pengosongan sampah dari wadah individual dilakukan paling lama 2 hari sekali sedangkan untuk wadah komunal harus dilakukan setiap hari
Pengumpulan
Pengumpulan sampah dari sumber dapat dilakukan secara langsung dengan alat angkut (untuk sumber sampah besar atau daerah yang memiliki kemiringan lahan cukup tinggi) atau tidak langsung dengan menggunakan gerobak (untuk daerah teratur) dan secara komunal oleh mayarakat sendiri (untuk daerah tidak teratur)
Penyapuan jalan diperlukan pada daerah pusat kota seperti ruas jalan protokol, pusat perdagangan, taman kota dan lain-lain
Pemindahan
Pemindahan sampah dari alat pengumpul (gerobak) ke alat angkut (truk) dilakukan di trasnfer depo atau container untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan
Lokasi pemindahan haru dekat dengan daerah pelayanan atau radius ± 500 m
Pemindahan skala kota ke stasiun transfer diperlukan bila jarak ke lokasi TPA lebih besar dari 25 km
5 Pengangkutan
Pengangkutan secara langsung dari setiap sumber harus dibatasi pada daerah pelayanan yang tidak memungkinkan cara operasi lainnya atau pada daerah pelayanan tertentu berdasarkan pertimbangan keamanan maupun estetika dengan memperhitungkan besarnya biaya operasi yang harus dibayar oleh pengguna jasa
Penetapan rute pengangkutan sampah harus didasarkan pada hasil survey time motion study untuk mendapatkan jalur yang paling efisien.
Jenis truk yang digunakan minimal dump truck yang memiliki kemampuan membongkar muatan secara hidrolis, efisien dan cepat
Penggunaan arm roll truck dan compactor truck harus mempertimbangkan kemampuan pemeliharaan
Pengolahan
Pengolahan sampah dimaksudkan untuk mengurangi volume sampah yang harus dibuang ke TPA serta meningkatkan efisiensi penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan
Teknologi pengolahan sampah dapat dilakukan melalui pembuatan kompos, pembakaran sampah secara aman (bebas COx, SOx, NOx dan dioxin), pemanfaatan gas metan dan daur ulang sampah. Khusus pemanfaatana gas metan TPA (landfill gas), dapat masuk dalam CDM (clean developmant mechanism) karena secara significan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang berpengaruh pada iklim global.
Skala pengolahan sampah mulai dari individual, komunal (kawasan), skala kota dan skala regional.
Penerapan teknologi pengolahan harus memperhatikan aspek lingkungan, dana, SDM dan kemudahan operasional
Pembuangan akhir
Pemilihan lokasi TPA harus mengacu pada SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA. Agar keberadaan TPA tidak mencemari lingkungan, maka jarak TPA ke badan air penerima > 100m, ke perumahan terdekat > 500 m, ke airport 1500 m (untuk pesawat propeler) dan 3000 m (untuk pesawat jet). Selain itu muka air tanah harus > 4 m, jenis tanah lempung dengan nilai K < 10-6 cm/det.
Metode pembuangan akhir minimal harus dilakukan dengan controlled landfill (untuk kota sedang dan kecil) dan sanitary landfill (untuk kota besar dan metropolitan) dengan “sistem sel”
Prasarana dasar minimal yang harus disediakan adalah jalan masuk, drainase keliling dan pagar pengaman (dapat berfungsi sebagai buffer zone)
Fasilitas perlindungan lingkungan yang harus disediakan meliputi lapisan dasar kedap air, jaringan pengumpul lindi, pengolahan lindi dan ventilasi gas / flaring atau landfill gas extraction untuk mngurangi emisi gas.
Fasilitas operasional yang harus disediakan berupa alat berat (buldozer, excavator, loader dan atau landfill compactor) dan stok tanah penutup
Penutupan tanah harus dilakukan secara harian atau minimal secara berkala dengan ketebalan 20 - 30 cm
Penyemprotan insektisida harus dilakukan apabila penutupan sampah tidak dapat dilakukan secara harian
Penutupan tanah akhir harus dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan bekas TPA
Kegiatan pemantauan lingkungan harus tetap dilakukan meskipun TPA telah ditutup terutama untuk gas dan efluen leachate, karena proses dekomposisi sampah menjadi gas dan leahate masih terus terjadi sampai 25 tahun setelah penutupan TPA
Manajemen pengelolaan TPA perlu dikendalikan secara cermat dan membutuhkan tenaga terdidik yang memadai
Lahan bekas TPA direkomendasikan untuk digunakan sebagai lahan terbuka hijau.
3 . Aspek Institusi
Penyelenggara pembangunan prasarana dan sarana persampahan dapat dilakukan secara sendiri atau terpadu oleh Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, Swasta dan masyarakat
Bentuk institusi dan struktur organisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, secara umum bentuk institusi yang ada adalah perusahaan daerah kebersihan (PDK), dinas kebersihan (DK), dinas kebersihan dan pertamanan (DKP), seksi kebersihan dan lain-lain. Struktur organisasi sebaiknya mencerminkan kegiatan utama penangan sampah dari sumber sampei TPA termasuk memiliki bagian perencaan, retribusi, penyuluhan dan lain-lain.
Instansi pengelola persampahan sebaiknya memiliki pola kerja sama dengan instansi terkait termasuk PLN (untuk kerjasama penarikan retribusi) dan kerja sama antar kota untuk pola penangangan sampah secara regional dan kerja sama dengan masyarakat atau perguruan tinggi.
SDM sebaiknya memiliki keahlian bidang persampahan baik melalui pendidikan formal (ada staf yang memiliki latar belakang pendidikan teknik lingkungan, ekonomi, ahli manajemen dll) dan training bidang persampahan.
Kegiatan pengelolaan sampah yang tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat, menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan harus dilaksanakan secara terpadu dan terus menerus dengan melibatkan instansi terkait, LSM dan perguruan tinggi
4. Aspek Pembiayaan
Sumber Pembiayaan
Pengelolaan persampahan dapat dibiayai dari swadaya masyarakat, investasi swasta dan APBN / APBD
Tata cara pembiayaan mengikuti ketentuan yang berlaku
Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pembangunan prasarana dan sarana persampahan dalam bentuk dana maupun aset kepada masyarakat
Pembiayaan penyediaan dan pemeliharaan pewadahan individual menjadi tanggung jawab penghasil sampah
Tarif Retribusi
Biaya untuk penyediaan prasarana dan sarana pengumpulan serta pengelolaannya yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dikenakan pada anggota masyarakat yang mendapat pelayanan dalam bentuk iuran (besarnya ditentukan melalui musyawarah dan mufakat) dan dikordinasikan dengan pihak instansi pengelola persampahan
Biaya untuk pengelolaan persampahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau swasta untuk kepentingan masyarakat dibebankan kepada 7
masyarakat dalam bentuk retribusi kebersihan. Biaya pengelolaan tersebut meliputi biaya investasi dan biaya operasi dan pemeliharaan
Penentuan tarif retribusi disusun berdasarkan asas keterjangkauan /willingness to pay (secara umum kemampuan masyarakat membayar retribusi adalah 1 -2 % dari income) dan subsidi silang dari masyarakat berpenghasilan tinggi ke masyarakat berpenghasilan rendah dan dari sektor komersial ke non komersial tanpa meninggalkan prinsip ekonomi / cost recovery (minimal 80 %, 20 % merupakan subsidi Pemerintah kota/kab untuk pembersihan fasilitas umum).
Mekanisme penarikan retribusi selain dilakukan langsung oleh instansi pengelola juga dapat dilakukan melalui kerjasama dengan PLN, PDAM, RT/RW dan lain-lain sesuai dengan kondisi daerah pelayanan.
5. Aspek Peraturan
Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan persampahan adalah UU No 7 / 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah, UU No 33 / 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No 23/1997 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup, UU No 24 /1992 tentang Penataan Ruang, UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU No 2/1992 Perumahan dan Permukiman
Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan masalah persampahan adalah PP tentang Badan Layanan Umum, PP No 16 / 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum , PP No.27 tahun 1999 tentang Amdal, PP No. 18 jo 85/1999 tentang Limbah B3 dan PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem penyediaan Air Minum
Agenda 21 berkaitan dengan program optimaalisasi minimalisasi limbah secara bertahap sampai tahun 2020, Kyoto Protocol tentang CDM (clean development mechanism), MDGs tentang upaya pencapaian target pengurangan jumlah orang miskin dan akses terhadap air minum dan sanitasi (target 10 dan 11)
SNI yang berkaitan dengan pedoman persampahan adalah SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, SNI tentang Spesifikasi Controlled Landfill, SK SNI S-04-1992-03 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah Kota Sedang dan Kota Kecil, SNI 03-3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah Permukiman, SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah.
Pengaturan penyelenggaraan pembangunan bidang persampahan dilakukan melalui peraturan daerah (perda) yang pada umumnya terdiri dari perda pembentukan institusi, ketentuan umum kebersihan dan retribusi. Selain itu juga diperlukan perda yang mengatur mengenai peran serta swasta, penanganan limbah B3 / rumah sakit dan lain-lain.
6. Aspek Peran Serta Masyarakat dan Kemitraan
Peran Serta Masyarakat
Peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan diperlukan sejak dari perencanaan sampai dengan operasi dan pemeliharaan
Peran serta masyarakat berkaitan dengan penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan dapat berupa usulan, saran, pertimbangan, keberatan
serta bantuan lainnya atau pelaksanaan program 3R baik untuk skala individual maupun skala kawasan.
Peningkatan peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan formal sejak dini, penyuluhan yang intenssif, terpadu dan terus menerus serta diterapkannya sistem insentif dan disinsentif
Masyarakat bertanggung jawab atas penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pewadahan dan atau meyelenggarakan pengumpulan / pengolahan sampah
Kemitraan
Pemerintah memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menyelenggarakan pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana persampahan serta dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif
Kemitraan dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh kegiatan sistem pembangunan persampahan, termasuk melakukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan.
Pola kemitraan dapat dilakukan melalui studi kelayakan dengan memperhatikan keterjangkauan masyarakat, kemampuan Pemda, peluang usaha dan keuntungan swasta.
Kemitraan dapat dilakukan dengan sistem BOO, BOT, kontrak manajemen, kontrak konsesi dan lain-lain.
IV.
DAMPAK PENCEMARAN AKIBAT SAMPAH
4.1.
Potensi Dampak
Dalam kenyataannya banyak pengelola kebersihan menghadapi berbagai masalah dan kendala sehingga mereka tidak dapat menyediakan pelayanan yang baik sesuai dengan ketentuan teknis dan harapan masyarakat. Disana sini sering terjadi pencemaran akibat pengelolaan yang kurang baik sehingga menimbulkan berbagai masalah pencemaran selama pelaksanaan kegiatan teknis penanganan persampahan yang meliputi: pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Berbagai potensi yang menimbulkan berbagai dampak dapat meliputi :
a.Perkembangan vektor penyakit
Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan vektor penyakit terutama lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang besar.
Tempat Penampungan Sementara / Container juga merupakan tempat berkembangnya vektor tersebut karena alasan yang sama. Sudah barang tentu akan menurunkan kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya.
Vektor penyakit terutama lalat sangat potensial berkembangbiak di lokasi TPA. Hal ini terutama disebabkan oleh frekwensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai ketentuan sehingga siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah berlangsung sebelum penutupan dilaksanakan. Gangguan akibat lalat umumnya dapat ditemui sampai radius 1-2 km dari lokasi TPA
b.Pencemaran Udara
Sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut merupakan sumber bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah sensitif sekitarnya seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain. Pembakaran 9
sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan terutama bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya.
Sarana pengangkutan yang tidak tertutup dengan baik juga sangat berpotensi menimbulkan masalah bau di sepanjang jalur yang dilalui, terutama akibat bercecerannya air lindi dari bak kendaraan.
Pada instalasi pengolahan terjadi berupa pelepasan zat pencemar ke udara dari hasil pembuangan sampah yang tidak sempurna; diantaranya berupa : partikulat, SO x, NO x, hidrokarbon, HCl, dioksin, dan lain-lain.
Proses dekomposisi sampah di TPA secara kontinu akan berlangsung dan dalam hal ini akan dihasilkan berbagai gas seperti CO, CO2, CH4, H2S, dan lain-lain yang secara langsung akan mengganggu komposisi gas alamiah di udara, mendorong terjadinya pemanasan global, disamping efek yang merugikan terhadap kesehatan manusia di sekitarnya.
Pembongkaran sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan berpotensi menimbulkan gangguan bau. Disamping itu juga sangat mungkin terjadi pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi yang tidak memenuhi syarat teknis.
Seperti halnya perkembangan populasi lalat, bau tak sedap di TPA juga timbul akibat penutupan sampah yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Asap juga seringkali timbul di TPA akibat terbakarnya tumpukan sampah baik secara sengaja maupun tidak. Produksi gas metan yang cukup besar dalam tumpukan sampah menyebabkan api sulit dipadamkan sehingga asap yang dihasilkan akan sangat mengganggu daerah sekitarnya.
c.Pencemaran Air
Prasarana dan sarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial menghasilkan lindi terutama pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran atau tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran.
Instalasi pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang cukup besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di instalasi juga cukup potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya.
Lindi yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di bawahnya. Pada lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah akan cukup tinggi sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap sumur penduduk yang trerletak pada elevasi yang lebih rendah.
Pencemaran lindi juga dapat terjadi akibat efluen pengolahan yang belum memenuhi syarat untuk dibuang ke badan air penerima. Karakteristik pencemar lindi yang sangat besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan air penerima terutama air permukaan yang dengan mudah mengalami kekurangan oksigen terlarut sehingga mematikan biota yang ada. 10
d.Pencemaran Tanah
Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di lahan kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya sampah organik dan mungkin juga mengandung Bahan Buangan Berbahaya (B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang sangat lama sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama waktu itu lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya.
e.Gangguan Estetika
Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat terjadi baik di lingkungan permukiman atau juga lahan pembuangan sampah lainnya.
Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi pengumpulan sangat mungkin menimbulkan tumpahan sampah yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah dari kendaraan pengangkut sering terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan penutup yang memadai.
Di TPA ceceran sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang tertiup angin atau ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran sampah di dalam area pengolahan maupun ceceran sampah dari truk pengangkut akan mengurangi estetika lingkungan sekitarnya
Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui.
Lokasi TPA umumnya didominasi oleh ceceran sampah baik akibat pengangkutan yang kurang baik, aktivitas pemulung maupun tiupan angin pada lokasi yang sedang dioperasikan. Hal ini menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat yang melintasi / tinggal berdekatan dengan lokasi tersebut.
f.Kemacetan Lalu lintas
Lokasi penempatan sarana / prasarana pengumpulan sampah yang biasanya berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan lain-lain serta kegiatan bongkar muat sampah berpotensi menimbulkan gangguan terhadap arus lalu lintas.
Arus lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti transfer station atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang dapat mengganggu lalu lintas lain; terutama bila tidak dilakukan upaya-upaya khusus untuk mengantisipasinya.
Arus kendaraan pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi pengolahan akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di sekitarnya terutama berupa kemacetan pada jam-jam kedatangan.
Pada TPA besar dengan frekwensi kedatangan truck yang tinggi sering menimbulkan kemacetan pada jam puncak terutama bila TPA terletak berdekatan dengan jalan umum.
g.Gangguan Kebisingan
Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat / truck timbul dari mesin-mesin, bunyi rem, gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain-lain yang dapat mengganggu daerah-daerah sensitif di sekitarnya.
Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat lalu lintas kendaraan truk sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan (tertutama bila digunakan mesin pencacah sampah atau shredder).
Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan pengangkut sampah menuju dan meninggalkan TPA; disamping operasi alat berat yang ada.
h.Dampak Sosial
Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya. Karenanya tidak jarang menimbulkan sikap menentang / oposisi dari masyarakat dan munculnya keresahan. Sikap oposisi ini secara rasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan taraf hidup mereka, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan dampak ini dan mengambil langkah-langkah aktif untuk menghindarinya.
4.2.
Resiko Lingkungan
Komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak akibat adanya kegiatan pembangunan sistem penyediaan air bersih akan mencakup:
a.Geo-fisik-Kimia; yang meliputi: kuantitas dan kualitas air tanah/permukaan, kualitas udara, kondisi tanah, dan kebisingan
b.Biologis: baik keanekaragaman maupun kondisi flora/fauna
c.Sosioekonomibudaya; yang meliputi: kependudukan, kesehatan masyarakat, pola kehidupan masyarakat, mata pencaharian, estetika, kecemburuan masyarakat, persepsi masyarakat terhadap proyek, nilai jual tanah, situs sejarah, adat, dan lain-lain
d.Prasarana umum: jalan, saluran drainase, jaringan PLN/Telkom, perpipaan air bersih / air limbah, dll
V.
PENUTUP
Sampah merupakan hasil sampingan dari kegiatan manusia sehari-hari. Jumlah sampah yang semakin besar memerlukan pengelolaan yang harus dilakukan secara bertanggung jawab.Selama tahapan penanganan sampah banyak kegiatan dan fasilitas yang bila tidak dilakukan / disediakan dengan benar akan menimbulkan dampak yang berpotensi mengganggu lingkungan.
Sebuah Proposal Sampah Untuk Kota Manado
http://asrulhoesein.blogspot.com/2009/11/pengelolaan-sampah-kota-dengan-basis.html
oleh: H.Asrul Hoesein
Konsultan: LM3 Nafiri Manado, Sulawesi Utara dan
PT. Cipta Visi Sinar Kencana, Bandung> Pemasaran Indonesia Timur
Pendahuluan :Sampah merupakan akibat adanya aktifitas manusia yang juga konsekuensi kemajuan dan perkembangan suatu wilayah terutama perkotaan. Artinya, kemajuan dan perkembangan serta pertambahan penduduk otomatis akan diikuti dengan peningkatan volume sampah.
Kota Manado pada fakta empirik menunjukkan, jumlah penduduk serta aktivitas masyarakat yang terus meningkat akan meningkatkan konsumsi masyarakat pula dan hal ini akan mengakibatkan semakin bertambahnya volume sampah. Sedangkan manajemen pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini, tidak lebih dari sekadar memindahkan masalah. Artinya, sampah dari satu tempat diangkut ke tempat lain. Itupun, pengelolaannya cukup open dumping (buang dorong) serta tidak memenuhi standar memadai. Akibatnya, timbul berbagai masalah, antara lain pencemaran lingkungan, konflik sosial, dan menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi TPA.
Sampah sebagai material sisa aktivitas manusia seringkali menjadi penyebab timbulnya masalah manakala tidak mendapat pengelolaan secara pantas. Timbulnya masalah longsor dan ledakan metan di TPA, masalah kurangnya anggaran (APBD) investasi bagi pengangkutan dari sumber penghasil sampah ke Tempat Pembuangan (TPA) serta berkembangnya penyakit karena rendahnya sanitasi lingkungan adalah beberapa masalah dari sekian banyak kerugian akibat salah kelola sampah.
Dari aspek peraturan perundang-undangan, sejauh ini harus diakui pada tingkat nasional terdapat UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Hanya, perangkat hukum itu masih diatur secara parsial, dan belum komprehensif. Penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak. Apabila ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh tapi sahabat, karena bisa didaur ulang, dan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi. Air limbah bila diolah tidak akan merugikan dan harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kemudian, pemberdayaan masyarakat di lokasi pembuangan sampah. Teori yang dilontarkan, sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang bernilai ekonomi, mengubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk memilah dan memilih sampah, pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru, hingga upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi kepada semua komponen melalui berbagai lembaga sosial masyarakat.
Sudah saatnya pembungkus dari bahan plastik diganti dengan kertas. Sebab, sampah plastik secara kimiawi sulit terurai dalam tanah sehingga menyebabkan terjadinya polusi tanah. Kepada pemilik rumah makan, warung atau toko kelontong hingga supermarket, diharapkan mengurangi penggunaan tas plastik dan diganti dengan bahan kertas. Bagaimanapun, penanganan persoalan sampah ini tidak hanya tanggung jawab pemkot, namun harus didukung seluruh masyarakat. Terlepas sudah tumbuh atau belum kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sembarang tempat, cara yang paling praktis mengatasi problem sampah yakni menumbuhkan kesadaran warga.
Soal sampah, juga tidak lepas dari tingkat kedisiplinan warga. Tidak hanya di lingkungan padat penduduk dan rata-rata berekonomi pas-pasan, namun di lingkungan elit pun tidak menjamin warganya disiplin. Tidak jarang, saluran air di perumahan elite juga penuh sampah meskipun di lingkungan padat penduduk lebih parah lagi. Akibatnya, jika hujan turun meskipun tidak deras, terjadi banjir (genangan air). Berdasarkan klasifikasi, rumah tinggal (RT) menempati urutan pertama yakni 65 persen sebagai kelompok yang berpotensi memberi kontribusi jasa kebersihan, disusul pabrik/industri, dan perkantoran. Selama ini proses pembuangan sampah sejak diambil dari rumah ke rumah sampai dibuang ke TPA, masih bercampur antara sampah organik dan non-organik. Pemisahan sampah organik dan non-organik seharusnya diterapkan.
Pengelolaan Persampahan
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.
Di Manado, pada sekitar tahun 90-an volumenya baru mencapai 700-an m3 per hari sementara Tahun 2007 ini telah mencapai 1.700 m3. Jika dibandingkan dengan kota besar di tanah air semisal Jakarta volume sampah Manado memang relatif jauh lebih kecil sebab Tahun 2002 saja sampah Jakarta sekitar 55.000 m3. Meski demikian dari tahun ke tahun persoalan mengelola dan mengatasi sampah ini terus menjadi pemikiran berat bagi pemerintah kota. Di tahun 2007 bahkan tahun-tahun selanjutnya persoalan mengatasi sampah terasa semakin berat di tengah upaya pemerintah dan masyarakat mempertahankan Piala Adipura bahkan predikat Kota Sehat yang menjadi kebanggaan bersama.
Berlakunya UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah diharapkan membawa perubahan yang mendasar dalam tata-kelola sampah di Tanah Air, salah satunya adalah penutupan semua TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang menggunakan sistem penimbunan dalam waktu lima tahun ke depan. Lima tahun mendatang semua TPA yang menggunakan sistem open-dumping (ditimbun di tanah lapang terbuka) akan ditutup. Proses penutupan ini akan berlangsung secara bertahap.
Mengatasi sampah di Kota Manado setidaknya meliputi tiga hal utama.
Pertama, produksi sampah. Begitu banyaknya sampah menunjukkan bahwa penduduk di wilayah ini sangat produktif menghasilkan sampah. Rata-rata produksi setiap warga sehari hampir satu kilogram. Ini bisa dikurangi dengan mengubah perilaku, seperti kesediaan setiap orang untuk sesedikit mungkin menggunakan pembungkus setiap kali belanja.
Kedua, mengubah kebiasaan membuang sampah secara sembarangan. Kita masih menyaksikan begitu banyak wilayah tanpa tempat sampah, dan juga kemalasan penduduk membuang sampah secara tertib. Gagasan memilah sampah organik dan anorganik ternyata belum berhasil. Perilaku buruk dalam membuang sampah ini, mengakibatkan kegiatan pengumpulan sampah menjadi makin mahal dan menyita waktu.
Ketiga, penampungan terakhir dan pengolahan sampah. Selama ini sampah hanya dihargai oleh para pemulung, dan nilai ekonomis sampah hanya dilihat dalam kegiatan pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi terakhir. Material sampah belum banyak diperhatikan, meskipun pengetahuan yang sederhana ini telah begitu banyak dibahas dan dirintis. Sampah-sampah organik masih sangat sedikit yang dimanfaatkan untuk dijadikan makanan ternak, atau pupuk kompos.
Jenis Sampah
Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sapah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.
Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.
Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
Sampah adalah "Bahan Berbahaya Beracun" (B3)
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.
Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika. Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.
Komitmen Kelola Sampah Terpadu
Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah Prinsip 4R.
Pengelolaan sampah harus melibatkan lima aspek, yakni kelembagaan, regulasi, pendanaan, peran serta masyarakat, dan teknologi. Lima aspek tersebut harus tertuang dalam “rencana induk (pengelolaan) sampah” yang wajib dipunyai oleh Kota Manado dan/atau Kab/Kota lainnya di Indonesia
Prinsip 4R yaitu:
Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.
Pengelolaan sampah berwawasan lingkungan (PSBL) yang mengadopsi prinsip 4M yakni murah, mudah, manfaat, dan masal. PSBL, selain memiliki biaya investasi dan operasionalnya relatif murah, juga memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut :
Pengolahan sampah tanpa sisa, mulai pengumpulan dan pengangkutan hingga pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Peningkatan motivasi segenap lapisan masyarakat untuk peduli terhadap sampah, serta menjaga lingkungan dan seluruh kota agar selalu tertata rapi dan asri.
Instalasi layak dibangun di kota, sebab PSBL aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Pemerintah Daerah dapat memperluas dan mengembangkan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Pemerintah Kota berpeluang untuk mengembangkan produk unggulan daerah.
Pemerintah Kota bersama dengan masyarakat saling bekerjasama, dalam mempercantik kota dan membuat lingkungan kota menjadi indah dan nyaman.
PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU BERBASIS MASYARAKAT
Berdasarkan tahapan proses di atas kunci penanganan sampah berbasis masyarakat ini sebenarnya terletak pada rantai proses di tingkat rumah tangga dan di tingkat kelurahan (yaitu di tempat pembuangan sampah sementara atau TPS). Cara penanganan seperti ini sebenarnya bertujuan untuk :
Membudayakan cara pembuangan sampah yang baik mulai dari lingkungan rumah hingga ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dengan menggunakan kantong kresek berwarna (bioplastic) serta gerobak atau motor sampah terpisah antara sampah organik dan non organik
Menata tempat pembuangan sampah (TPS) menjadi pusat pemanfaatan sampah organik dan non-organik secara maksimal Sampah organik diolah menjadi kompos.
Menjadikan sampah non organik menjadi bahan baku untuk diolah menjadi bahan daur ulang (kertas, kaca, plastik dsb.)
Implementasi model ini tergantung dari sikap masyarakat dalam memperlakukan sampah. Semakin sadar masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan akan semakin mudah proses ini dapat dilaksanakan. Untuk itu peran pemerintah dalam mensosialisasikan hal ini serta didukung dengan penerapan peraturan perundang-undangan tentang lingkungan yang lebih tegas pada akhirnya akan menentukan keberhasilan dalam penanggulangan masalah sampah khususnya di perkotaan.
Jika sampah dikelola sedikit demi sedikit, pasti akan lebih mudah daripada mengelola timbunan sampah yang banyak. Jika Singapura saja butuh 30 tahun untuk menegakkan hukum tentang pembuangan sampah dan mengubah kebiasaan semua masyarakat untuk hidup bersih, maka berapa lama waktu yang dibutuhkan Manado? Selama menunggu waktu tersebut, dalam waktu dekat mau tidak mau kita harus peduli sampah dari sekarang. Dengan sistem pengelolaan sampah yang mengutamakan konsep 4R, pemerintah setempat justru mendapat keuntungan ganda, yaitu pembukaan lapangan pekerjaan, pertambahan nilai ekonomis dari daur ulang, dan volume sampah yang dikirim ke TPA cuma 30% dari kondisi pengelolaan tanpa konsep 4R.
Ragam Teknologi Pengelolaan Sampah
ADA beberapa teknologi penanganan sampah. Mulai dari teknologi sederhana hingga teknologi rumit, modern dan ramah lingkungan. Di lingkungan sekitar kita, biasanya masyarakat hanya menggunakan komposter sederhana (setelah pemisahan material sampah) menjadi pupuk organik.
Beberapa warga di antaranya bahkan mulai beranjak pada teknologi daur ulang (sampah plastik, kertas atau logam) setelah material-material tersebut dicacah atau dipilah. Korporasi, konsorsium dan pemerintah mulai menggunakan teknologi modern dalam pengelolaan sampah menjadi bahan-bahan yang bisa digunakan kembali ke wujud asal atau manfaat lainnya.
Teknologi Pembakaran Stoker; Bagian utama fasilitas pembakaran, terdiri fasilitas receiving dan supply, fasilitas pembakaran, fasilitas pendinginan gas pembakaran, fasilitas pengolahan gas emisi, fasilitas pembangkit listrik, fasilitas pemanfaatan panas sisa, fasilitas pengeluaran abu, serta pengolahan air buangan.
Tungku Pelelehan Berbahan Bakar Gas; Ada 3 jenis tungku pelelehan berbahan bakar gas: tipe fluida dasar, tipe kiln, serta tipe tungku shaft. Ada berbagai karakteristik seperti pengurangan drastis jumlah emisi dioksin dengan pembakaran suhu tinggi, perampingan fasilitas pengolahan gas emisi dengan pembakaran rasio udara rendah, serta tidak diperlukannya sumber panas eksternal karena pemanfaatan panas yang dimiliki sampah untuk pelelehan abu sampah.
Tungku Stoker Generasi Baru; Tungku stoker generasi baru berbeda dalam hal pembakaran suhu tinggi dengan rasio udara rendah dan pencapaian efisiensi pembakaran tinggi, penurunan konsentrasi dioksin, pengurangan kuantitas gas emisi, rasio pemanfaatan panas dan peningkatan efisiensi pembangkit listrik, serta tingkat kebersihan dari debu, dan ke depan perkembangan ini perlu diamati terus.
Pembuatan RDF dan Pengolahan Wilayah Luas; RDF (Refuse Derived Fuel) adalah bahan bakar yang dibentuk seperti krayon dengan mencampurkan batu abu ke sampah yang telah dipisahkan dari sampah tidak terbakar. Dengan melakukan ini, tidak akan membusuk walau disimpan dalam waktu lama, serta sangat praktis untuk pengangkutan.
Insinerator; Teknologi ini mempunyai sasaran pengurangan jumlah emisi dioksin, suplai energi efisiensi tinggi, pengurangan kuantitas produksi gas efek rumah kaca, serta peringanan lainnya.
Fermentasi Metana; Sampah dapur serta air seni, serta isi septic tank diolah dengan fermentasi gas metana dan diambil biomassnya untuk menghasilkan listrik, lebih lanjut panas yang ditimbulkan juga turut dimanfaatkan, sedangkan residunya dapat digunakan untuk pembuatan kompos.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa); Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik.
Kompos dan/atau Vermi-kompos; Mengunakan premis lokasi pengolahan sampah yang dekat dengan sumbernya (memangkas biaya transpor), investasi rendah (tidak memerlukan peralatan/teknologi mahal), teknik pengolahan sampah sederhana (bisa dilakukan perorangan atau komunitas kecil). Dengan model ini problem sampah itu bisa dilokalisir menjadi unit-unit kerja kecil, lokal, modular dan bisa dikelola dengan baik oleh siapa saja. Komponen organik sampah biasanya sekitar 70-80 persen, bisa diolah menjadi kompos dan/atau vermi-kompos (pakai cacing).
KESATUAN SISTEM
Bagian penanganan permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan sebagai supor atas sistem. Alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru.
Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Tentu metode ini tetap harus dilengkapi oleh manajemen pengelolaan sampah yang komprehensif oleh Pemerintah Kota Manado, mengintegrasikan semua bidang serta mengakomodir penataan baik pada level pemerintah, masyarakat, akademisi dan multi-pihak dan mengurai semua dari hulu hingga hilir permasalahan. Semua pihak terlibat sesuai kapasitas masing-masing.
Pemerintah menyiapkan instrumentasi aturan dan menegakkannya, sarana-pra sarana yang memadai mengurus sampah dari perumahan, TPS sampai TPA. Dukungan nyata perusahan/swasta untuk mengolah sebelum ke TPA, akademisi dengan kajian dan teknologi terapan, serta yang tak kalah pentingnya harus adanya budaya sadar individu yang kemudian dilembagakan ke rumah tangga dan lingkungan sekitar. Seharusnya menjadi kepedulian semua pihak. Semua aspek harus diberdayakan sosial, budaya, agama, bukan hanya teknologi. Dan itu harus ada dalam satu manajemen sistem pengelolaan sampah yang paripurna.
PERSOALAN sampah tidak pernah lepas dari keseharian hidup kita. Setiap hari, sampah diproduksi, mulai dari rumah, sekolah, kantor, pasar, sampai di jalanan. Dalam keseharian pula disaksikan sampah dikumpul mulai dari rumah, dibawa ke bak sampah hingga diangkut truk ke TPA. Hanya segelintir orang yang berpikir, kalau sampah bisa dipilah, digantikan, didaur-ulang, dan dimanfaatkan lagi. Kebanyakan melihat sampah hanya sebatas barang sisa yang sudah tidak ada gunanya lagi. Bertambahnya jumlah sampah (baik volume, jenis maupun karakteristiknya) yang diproduksi tiap keluarga merupakan implikasi dari pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Tak bisa dibayangkan bila sampah itu menumpuk di suatu tempat sebelum diangkut. Bukan saja akan menjadi pemandangan yang tidak sedap, tapi juga mengundang penyakit, sehingga lingkungan hidup yang baik dan sehat seperti amanat pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tidak terpenuhi.
Kehadiran UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dilatarbelakangi oleh hal-hal tersebut. Latar yang lain, diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah, pemerintah daerah serta peran masyarakat dan dunia usaha, sehingga pengelolaan sampah berjalan proporsional, efektif dan efisien.
PROBLEM SAMPAH DI KOTA MANADO
Dari keseluruhan pasal dalam UU itu, tak semua kabupaten/kota di Indonesia siap untuk implementasinya. Kota Manado yang telah memiliki aturan tentang sampah. Bahkan, jauh sebelum adanya UU tentang Pengelolaan Sampah, sudah ada regulasi beserta petunjuk teknisnya, yakni Perda Kota Manado No. 7 tahun 2006 tentang pengelolaan Persampahan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan, dan Perwako No 7 tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Persampahan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan. Tapi keseluruhan isi dari perda dan juknis itu spiritnya masih seputar soal larangan, kewajiban, retribusi beserta sanksi bagi yang melanggar. Belum tergambar soal pembangunan sistem dan pelembagaan pengelolaan sampah. Belum lagi soal pemenuhan hak publik untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, ruang partisipasi masyarakat beserta mekanismenya, insentif bagi mereka yang melakukan pengurangan dan pengolahan sampah, hak pekerja/buruh sampah, riset dan pengembangan teknologi pengurangan/penanganan sampah serta pengembangan kapasitas masyarakat. Ringkasnya, belum tergambar adanya perubahan paradigma pengelolaan sampah. Jadi, bisa dikatakan, sejatinya –baik pemprov maupun pemda kabupaten/kota— belum memiliki renstra, atau rencana induk pengelolaan sampah, kami sarankan sebaiknya Pemkot Manado melakukan revisi Perda No. 7 tahun 2006 tersebut serta aturan lainnya yang mendukung, tentu dengan mengacu kepada UU. No. 18 Tahun 2008.
PELUANG MASYARAKAT
Pasal 21 UU. No. 18 Tahun 2008 dinyatakan pemda memberikan insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah, atau disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah. Pertanyaannya, insentif dalam bentuk apa yang akan diberikan pemerintah? Jika berbentuk uang atau pengurangan jumlah tagihan listrik, air atau telepon, mungkin banyak yang berlomba mengurangi sampah. Namun, ukuran apa yang akan dipakai sehingga bisa disebut telah melakukan pengurangan sampah? Apakah harus ditimbang per hari/per bulan berdasarkan catatan periodik tertentu? Yang harus dipikirkan pula, penimbul sampah bukan hanya rumah tangga saja, tapi industri.
Juga soal pemberian kompensasi (pasal 25) dari pemda kepada orang yang merasakan dampak negatif akibat penanganan sampah. Hal itu berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan serta kompensasi dalam bentuk lain. Dengan begitu masyarakat sedikit berlega dengan payung hukum ini. Setidaknya jaminan kepastian soal kompensasi, walaupun hal ini masih perlu diatur lagi dengan peraturan pemerintah dan political will pemda. Demikian pula soal partisipasi masyarakat. Pasal 28 menyebut masyarakat bisa berperan serta dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan pemda. Bagaimana praktiknya selama ini? Bagaimana kalau itu diselenggarakan oleh pihak swasta, apa masyarakat bisa berperan serta? Mekanismenya bagaimana? Peluang lain soal diaturnya gugatan perwakilan kelompok (class action) bagi yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan sampah (pasal 36). Ini memang cukup progresif, mengingat banyak kasus berkaitan dengan pemenuhan hak-hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat selalu ditolak, bahkan terabaikan.
Dengan kehadiran UU ini diharapkan pendekatan akhir (end pipe) pengelolaan sampah juga diubah. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pengelolaan sampah. PP ini ditujukan kepada perusahaan yang menghasilkan sampah berupa limbah maupun kemasan produknya. KLH selama ini menilai pengelolaan sampah hanya dibebankan kepada masyarakat. Bahkan, di lokasi TPA warga mengalami dampak yang begitu buruk yaitu kondisi lingkungan yang tidak sehat.
Salah satu isi PP tersebut adalah setiap industri harus bertanggung jawab terhadap kemasannya dan perusahaan wajib melabeli kemasan tersebut tentang petunjuk pengolahan selanjutnya. Point lainnya, perusahaan diminta membentuk badan atau asosiasi untuk membicarakan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah tersebut.
KLH berharap tiap perusahaan dapat menganggarkan biaya pengelolaan menjadi bagian internal perusahaan. Dalam waktu sepuluh tahun ke depan, 70 persen pengelolaan sampah seluruh industri di Indonesia sudah berjalan, dengan indikator tingkat kerusakan pada lingkungan. Diharapkan, implementasi UU dan PP ini membawa konsekuensi bagi daerah untuk menata ulang pengelolaan sampah, baik aspek kebijakan, metode, teknik maupun regulasinya
Memilih Sistem Pengolahan Sampah yang Ideal
Sistem sentralisasi adalah pemusatan pembangunan sampah kota di suatu lokasi atau TPA. Sementara sistem desentralisasi adalah membagi tempat pembuangan sampah kota di beberapa TPS (Tempat Penampungan sampah Sementara). Adapun sistem sentra-desentralisasi atau disingkat se-desentralisasi adalah menggabungkan kedua sistem tersebut dengan keberadaan TPA dan TPS. Penimbunan sampah hanya dengan mengandalkan sistem sentralisasi jelas tidak tepat karena membutuhkan lahan yang sangat luas. Namun, sistem desentralisasi bukan jawaban yang tepat karena volume sampah yang sangat besar tidak akan mampu ditampung oleh TPS yang tersebar di mana-mana. Bahkan, bukan tidak mungkinmalah menyebarkan polusi ke banyak titik di kota tersebut. Oleh karena masing-masing memiliki keunggulan dan mengatasi kendala pengelolaan sampah yang muncul. Adapun kemampuan masing-masing dalam menagatasi kendala yang muncul dalam pengelolaan sampah kota tersebut terdapat hasil survey dibawah ini.
K e n d a l a Sistem Sentralisasi Sistem Desentralisasi Sistem Se-Desentralisasi
1. Luas Lahan Terbatas TS TS S
2. Volume Sampah Sangat Besar S TS S
3. Pengumpulan Sampah Kurang Efektif TS S S
4. Dana Pengelolaan Sampah Terbatas TS S S
5. Kemampuan Teknologi Terbatas S TS S
6. Masyarakat Tidak Koperatif S TS S
7. Masyarakat Tidak Kreatif/Bisnis S TS S
8. Banyak Pengangguran TS S S
9. Dampak Luas TS S S
10. Pemda Tidak Responsif TS S S
Jumlah Yang Sesuai (S) 4 6 10
Keterangan : S=Sesuai TS= Tidak Sesuai
Sistem se-desentralisasi memiliki kemampuan tertinggi dalam mengatasi kendala pengelolaan sampah kota. Dari 10 kemungkinan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sampah kota di kota-kota besar, ternyata sistem se-desentralisasi yang paling mampu mengatasi kendala tersebut. Oleh karena itu, untuk kota-kota besar yang jumlah penduduknya banyak seperti: Jakarta dan kota satelitnya serta ibu kota profinsi lainnya di Indonesia seperti; Semarang, Medan, Makassar, Surabaya, Bandung, Manado, Kendari, dll. Sistem ini adalah yang paling sesuai, seyogyanya sistem tersebut diterapkan secara bertahap untuk membiasakan masyarakat dalam menghadapi era baru pengolahan sampah kota di wilayahnya.
Penerapan Sistem se-Desentralisasi untuk Kota Manado
Sistem se-desentralisasi merupakan sistem yang terbaik untuk Indonesia umumnya dan terkhusus Kota Manado, sebelum terdesak problem sampah seperti di kota-kota metropolitan. Sistem ini bertujuan mengurangi arus sampah ke TPA dengan membagi-bagi pengolahan sampah tersebut di beberapa titik yaitu sebagai berikut:
Kesimpulan
SEBAGAI produk harian, sampah terus bertambah, dan bertambah. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi pemakaian. Beberapa hal praktis yang bisa dilakukan, antara lain membawa air dalam botol minum yang bisa diisi ulang, sehingga Anda tak perlu menambah sampah kemasan. Bila Anda telah mengurangi pemakaian botol plastik, berkurang juga sampah yang ada. Sama halnya dengan kertas yang menjadi sampah utama bagi perkantoran. Hindari pemakaian benda yang akan terbuang setelah sekali pemakaian. Jika memungkinkan, manfaatkan sejumlah benda sebelum itu dimasukkan ke kantong sampah. Gelas bekas air mineral, misalnya bisa dijadikan wahana pembibitan tanaman hias. Tas plastik bekas belanja sedapat mungkin dimanfaatkan sampai benar-benar tak dapat dipakai. Jika berbelanja, biasakan membawa tas plastik sendiri. “Dengan membawa tas plastik sendiri, akan mengurangi produksi sampah,” Yang juga bisa dilakukan, adalah mengajak pemilik pasar swalayan agar sebisa mungkin mengganti plastik belanjaan yang selama ini digunakan dengan kertas belanja, yang relatif mudah terurai. Sosialisasi mengenai pemisahan sampah organik dan non organik, atau sampah kering dan sampah basah sudah saatnya dilakukan. Pemerintah diharapkan memberi kesempatan atau peran langsung kepada masyarakat karena bila peran serta masyarakat tidak tampak, mereka tidak mau peduli. “Kalau memang paradigma sampahku adalah urusanku sudah melekat di masyarakat, akan semakin berkurang beban yang ditanggung pemerintah. Karenanya sedari awal prinsip 4R harus benar-benar diwujudkan yakni reduce, reuse, replace dan recycle”
Sebuah Proposal Sampah Untuk Kota Manado
Pengelolaan Sampah Kota Dengan Basis Komunal, Menuju Kota Manado Bebas Sampah (Zero Waste )
oleh: H.Asrul Hoesein
Konsultan: LM3 Nafiri Manado, Sulawesi Utara dan
PT. Cipta Visi Sinar Kencana, Bandung> Pemasaran Indonesia Timur
Pendahuluan :Sampah merupakan akibat adanya aktifitas manusia yang juga konsekuensi kemajuan dan perkembangan suatu wilayah terutama perkotaan. Artinya, kemajuan dan perkembangan serta pertambahan penduduk otomatis akan diikuti dengan peningkatan volume sampah.
Kota Manado pada fakta empirik menunjukkan, jumlah penduduk serta aktivitas masyarakat yang terus meningkat akan meningkatkan konsumsi masyarakat pula dan hal ini akan mengakibatkan semakin bertambahnya volume sampah. Sedangkan manajemen pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini, tidak lebih dari sekadar memindahkan masalah. Artinya, sampah dari satu tempat diangkut ke tempat lain. Itupun, pengelolaannya cukup open dumping (buang dorong) serta tidak memenuhi standar memadai. Akibatnya, timbul berbagai masalah, antara lain pencemaran lingkungan, konflik sosial, dan menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi TPA.
Sampah sebagai material sisa aktivitas manusia seringkali menjadi penyebab timbulnya masalah manakala tidak mendapat pengelolaan secara pantas. Timbulnya masalah longsor dan ledakan metan di TPA, masalah kurangnya anggaran (APBD) investasi bagi pengangkutan dari sumber penghasil sampah ke Tempat Pembuangan (TPA) serta berkembangnya penyakit karena rendahnya sanitasi lingkungan adalah beberapa masalah dari sekian banyak kerugian akibat salah kelola sampah.
Dari aspek peraturan perundang-undangan, sejauh ini harus diakui pada tingkat nasional terdapat UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Hanya, perangkat hukum itu masih diatur secara parsial, dan belum komprehensif. Penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak. Apabila ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh tapi sahabat, karena bisa didaur ulang, dan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi. Air limbah bila diolah tidak akan merugikan dan harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kemudian, pemberdayaan masyarakat di lokasi pembuangan sampah. Teori yang dilontarkan, sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang bernilai ekonomi, mengubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk memilah dan memilih sampah, pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru, hingga upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi kepada semua komponen melalui berbagai lembaga sosial masyarakat.
Sudah saatnya pembungkus dari bahan plastik diganti dengan kertas. Sebab, sampah plastik secara kimiawi sulit terurai dalam tanah sehingga menyebabkan terjadinya polusi tanah. Kepada pemilik rumah makan, warung atau toko kelontong hingga supermarket, diharapkan mengurangi penggunaan tas plastik dan diganti dengan bahan kertas. Bagaimanapun, penanganan persoalan sampah ini tidak hanya tanggung jawab pemkot, namun harus didukung seluruh masyarakat. Terlepas sudah tumbuh atau belum kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sembarang tempat, cara yang paling praktis mengatasi problem sampah yakni menumbuhkan kesadaran warga.
Soal sampah, juga tidak lepas dari tingkat kedisiplinan warga. Tidak hanya di lingkungan padat penduduk dan rata-rata berekonomi pas-pasan, namun di lingkungan elit pun tidak menjamin warganya disiplin. Tidak jarang, saluran air di perumahan elite juga penuh sampah meskipun di lingkungan padat penduduk lebih parah lagi. Akibatnya, jika hujan turun meskipun tidak deras, terjadi banjir (genangan air). Berdasarkan klasifikasi, rumah tinggal (RT) menempati urutan pertama yakni 65 persen sebagai kelompok yang berpotensi memberi kontribusi jasa kebersihan, disusul pabrik/industri, dan perkantoran. Selama ini proses pembuangan sampah sejak diambil dari rumah ke rumah sampai dibuang ke TPA, masih bercampur antara sampah organik dan non-organik. Pemisahan sampah organik dan non-organik seharusnya diterapkan.
Pengelolaan Persampahan
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.
Di Manado, pada sekitar tahun 90-an volumenya baru mencapai 700-an m3 per hari sementara Tahun 2007 ini telah mencapai 1.700 m3. Jika dibandingkan dengan kota besar di tanah air semisal Jakarta volume sampah Manado memang relatif jauh lebih kecil sebab Tahun 2002 saja sampah Jakarta sekitar 55.000 m3. Meski demikian dari tahun ke tahun persoalan mengelola dan mengatasi sampah ini terus menjadi pemikiran berat bagi pemerintah kota. Di tahun 2007 bahkan tahun-tahun selanjutnya persoalan mengatasi sampah terasa semakin berat di tengah upaya pemerintah dan masyarakat mempertahankan Piala Adipura bahkan predikat Kota Sehat yang menjadi kebanggaan bersama.
Berlakunya UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah diharapkan membawa perubahan yang mendasar dalam tata-kelola sampah di Tanah Air, salah satunya adalah penutupan semua TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang menggunakan sistem penimbunan dalam waktu lima tahun ke depan. Lima tahun mendatang semua TPA yang menggunakan sistem open-dumping (ditimbun di tanah lapang terbuka) akan ditutup. Proses penutupan ini akan berlangsung secara bertahap.
Mengatasi sampah di Kota Manado setidaknya meliputi tiga hal utama.
Pertama, produksi sampah. Begitu banyaknya sampah menunjukkan bahwa penduduk di wilayah ini sangat produktif menghasilkan sampah. Rata-rata produksi setiap warga sehari hampir satu kilogram. Ini bisa dikurangi dengan mengubah perilaku, seperti kesediaan setiap orang untuk sesedikit mungkin menggunakan pembungkus setiap kali belanja.
Kedua, mengubah kebiasaan membuang sampah secara sembarangan. Kita masih menyaksikan begitu banyak wilayah tanpa tempat sampah, dan juga kemalasan penduduk membuang sampah secara tertib. Gagasan memilah sampah organik dan anorganik ternyata belum berhasil. Perilaku buruk dalam membuang sampah ini, mengakibatkan kegiatan pengumpulan sampah menjadi makin mahal dan menyita waktu.
Ketiga, penampungan terakhir dan pengolahan sampah. Selama ini sampah hanya dihargai oleh para pemulung, dan nilai ekonomis sampah hanya dilihat dalam kegiatan pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi terakhir. Material sampah belum banyak diperhatikan, meskipun pengetahuan yang sederhana ini telah begitu banyak dibahas dan dirintis. Sampah-sampah organik masih sangat sedikit yang dimanfaatkan untuk dijadikan makanan ternak, atau pupuk kompos.
Jenis Sampah
Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sapah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.
Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.
Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
Sampah adalah "Bahan Berbahaya Beracun" (B3)
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.
Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika. Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.
Komitmen Kelola Sampah Terpadu
Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah Prinsip 4R.
Pengelolaan sampah harus melibatkan lima aspek, yakni kelembagaan, regulasi, pendanaan, peran serta masyarakat, dan teknologi. Lima aspek tersebut harus tertuang dalam “rencana induk (pengelolaan) sampah” yang wajib dipunyai oleh Kota Manado dan/atau Kab/Kota lainnya di Indonesia
Prinsip 4R yaitu:
Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.
Pengelolaan sampah berwawasan lingkungan (PSBL) yang mengadopsi prinsip 4M yakni murah, mudah, manfaat, dan masal. PSBL, selain memiliki biaya investasi dan operasionalnya relatif murah, juga memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut :
Pengolahan sampah tanpa sisa, mulai pengumpulan dan pengangkutan hingga pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Peningkatan motivasi segenap lapisan masyarakat untuk peduli terhadap sampah, serta menjaga lingkungan dan seluruh kota agar selalu tertata rapi dan asri.
Instalasi layak dibangun di kota, sebab PSBL aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Pemerintah Daerah dapat memperluas dan mengembangkan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Pemerintah Kota berpeluang untuk mengembangkan produk unggulan daerah.
Pemerintah Kota bersama dengan masyarakat saling bekerjasama, dalam mempercantik kota dan membuat lingkungan kota menjadi indah dan nyaman.
PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU BERBASIS MASYARAKAT
Berdasarkan tahapan proses di atas kunci penanganan sampah berbasis masyarakat ini sebenarnya terletak pada rantai proses di tingkat rumah tangga dan di tingkat kelurahan (yaitu di tempat pembuangan sampah sementara atau TPS). Cara penanganan seperti ini sebenarnya bertujuan untuk :
Membudayakan cara pembuangan sampah yang baik mulai dari lingkungan rumah hingga ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dengan menggunakan kantong kresek berwarna (bioplastic) serta gerobak atau motor sampah terpisah antara sampah organik dan non organik
Menata tempat pembuangan sampah (TPS) menjadi pusat pemanfaatan sampah organik dan non-organik secara maksimal Sampah organik diolah menjadi kompos.
Menjadikan sampah non organik menjadi bahan baku untuk diolah menjadi bahan daur ulang (kertas, kaca, plastik dsb.)
Implementasi model ini tergantung dari sikap masyarakat dalam memperlakukan sampah. Semakin sadar masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan akan semakin mudah proses ini dapat dilaksanakan. Untuk itu peran pemerintah dalam mensosialisasikan hal ini serta didukung dengan penerapan peraturan perundang-undangan tentang lingkungan yang lebih tegas pada akhirnya akan menentukan keberhasilan dalam penanggulangan masalah sampah khususnya di perkotaan.
Jika sampah dikelola sedikit demi sedikit, pasti akan lebih mudah daripada mengelola timbunan sampah yang banyak. Jika Singapura saja butuh 30 tahun untuk menegakkan hukum tentang pembuangan sampah dan mengubah kebiasaan semua masyarakat untuk hidup bersih, maka berapa lama waktu yang dibutuhkan Manado? Selama menunggu waktu tersebut, dalam waktu dekat mau tidak mau kita harus peduli sampah dari sekarang. Dengan sistem pengelolaan sampah yang mengutamakan konsep 4R, pemerintah setempat justru mendapat keuntungan ganda, yaitu pembukaan lapangan pekerjaan, pertambahan nilai ekonomis dari daur ulang, dan volume sampah yang dikirim ke TPA cuma 30% dari kondisi pengelolaan tanpa konsep 4R.
Ragam Teknologi Pengelolaan Sampah
ADA beberapa teknologi penanganan sampah. Mulai dari teknologi sederhana hingga teknologi rumit, modern dan ramah lingkungan. Di lingkungan sekitar kita, biasanya masyarakat hanya menggunakan komposter sederhana (setelah pemisahan material sampah) menjadi pupuk organik.
Beberapa warga di antaranya bahkan mulai beranjak pada teknologi daur ulang (sampah plastik, kertas atau logam) setelah material-material tersebut dicacah atau dipilah. Korporasi, konsorsium dan pemerintah mulai menggunakan teknologi modern dalam pengelolaan sampah menjadi bahan-bahan yang bisa digunakan kembali ke wujud asal atau manfaat lainnya.
Teknologi Pembakaran Stoker; Bagian utama fasilitas pembakaran, terdiri fasilitas receiving dan supply, fasilitas pembakaran, fasilitas pendinginan gas pembakaran, fasilitas pengolahan gas emisi, fasilitas pembangkit listrik, fasilitas pemanfaatan panas sisa, fasilitas pengeluaran abu, serta pengolahan air buangan.
Tungku Pelelehan Berbahan Bakar Gas; Ada 3 jenis tungku pelelehan berbahan bakar gas: tipe fluida dasar, tipe kiln, serta tipe tungku shaft. Ada berbagai karakteristik seperti pengurangan drastis jumlah emisi dioksin dengan pembakaran suhu tinggi, perampingan fasilitas pengolahan gas emisi dengan pembakaran rasio udara rendah, serta tidak diperlukannya sumber panas eksternal karena pemanfaatan panas yang dimiliki sampah untuk pelelehan abu sampah.
Tungku Stoker Generasi Baru; Tungku stoker generasi baru berbeda dalam hal pembakaran suhu tinggi dengan rasio udara rendah dan pencapaian efisiensi pembakaran tinggi, penurunan konsentrasi dioksin, pengurangan kuantitas gas emisi, rasio pemanfaatan panas dan peningkatan efisiensi pembangkit listrik, serta tingkat kebersihan dari debu, dan ke depan perkembangan ini perlu diamati terus.
Pembuatan RDF dan Pengolahan Wilayah Luas; RDF (Refuse Derived Fuel) adalah bahan bakar yang dibentuk seperti krayon dengan mencampurkan batu abu ke sampah yang telah dipisahkan dari sampah tidak terbakar. Dengan melakukan ini, tidak akan membusuk walau disimpan dalam waktu lama, serta sangat praktis untuk pengangkutan.
Insinerator; Teknologi ini mempunyai sasaran pengurangan jumlah emisi dioksin, suplai energi efisiensi tinggi, pengurangan kuantitas produksi gas efek rumah kaca, serta peringanan lainnya.
Fermentasi Metana; Sampah dapur serta air seni, serta isi septic tank diolah dengan fermentasi gas metana dan diambil biomassnya untuk menghasilkan listrik, lebih lanjut panas yang ditimbulkan juga turut dimanfaatkan, sedangkan residunya dapat digunakan untuk pembuatan kompos.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa); Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik.
Kompos dan/atau Vermi-kompos; Mengunakan premis lokasi pengolahan sampah yang dekat dengan sumbernya (memangkas biaya transpor), investasi rendah (tidak memerlukan peralatan/teknologi mahal), teknik pengolahan sampah sederhana (bisa dilakukan perorangan atau komunitas kecil). Dengan model ini problem sampah itu bisa dilokalisir menjadi unit-unit kerja kecil, lokal, modular dan bisa dikelola dengan baik oleh siapa saja. Komponen organik sampah biasanya sekitar 70-80 persen, bisa diolah menjadi kompos dan/atau vermi-kompos (pakai cacing).
KESATUAN SISTEM
Bagian penanganan permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan sebagai supor atas sistem. Alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru.
Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Tentu metode ini tetap harus dilengkapi oleh manajemen pengelolaan sampah yang komprehensif oleh Pemerintah Kota Manado, mengintegrasikan semua bidang serta mengakomodir penataan baik pada level pemerintah, masyarakat, akademisi dan multi-pihak dan mengurai semua dari hulu hingga hilir permasalahan. Semua pihak terlibat sesuai kapasitas masing-masing.
Pemerintah menyiapkan instrumentasi aturan dan menegakkannya, sarana-pra sarana yang memadai mengurus sampah dari perumahan, TPS sampai TPA. Dukungan nyata perusahan/swasta untuk mengolah sebelum ke TPA, akademisi dengan kajian dan teknologi terapan, serta yang tak kalah pentingnya harus adanya budaya sadar individu yang kemudian dilembagakan ke rumah tangga dan lingkungan sekitar. Seharusnya menjadi kepedulian semua pihak. Semua aspek harus diberdayakan sosial, budaya, agama, bukan hanya teknologi. Dan itu harus ada dalam satu manajemen sistem pengelolaan sampah yang paripurna.
PERSOALAN sampah tidak pernah lepas dari keseharian hidup kita. Setiap hari, sampah diproduksi, mulai dari rumah, sekolah, kantor, pasar, sampai di jalanan. Dalam keseharian pula disaksikan sampah dikumpul mulai dari rumah, dibawa ke bak sampah hingga diangkut truk ke TPA. Hanya segelintir orang yang berpikir, kalau sampah bisa dipilah, digantikan, didaur-ulang, dan dimanfaatkan lagi. Kebanyakan melihat sampah hanya sebatas barang sisa yang sudah tidak ada gunanya lagi. Bertambahnya jumlah sampah (baik volume, jenis maupun karakteristiknya) yang diproduksi tiap keluarga merupakan implikasi dari pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Tak bisa dibayangkan bila sampah itu menumpuk di suatu tempat sebelum diangkut. Bukan saja akan menjadi pemandangan yang tidak sedap, tapi juga mengundang penyakit, sehingga lingkungan hidup yang baik dan sehat seperti amanat pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tidak terpenuhi.
Kehadiran UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dilatarbelakangi oleh hal-hal tersebut. Latar yang lain, diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah, pemerintah daerah serta peran masyarakat dan dunia usaha, sehingga pengelolaan sampah berjalan proporsional, efektif dan efisien.
PROBLEM SAMPAH DI KOTA MANADO
Dari keseluruhan pasal dalam UU itu, tak semua kabupaten/kota di Indonesia siap untuk implementasinya. Kota Manado yang telah memiliki aturan tentang sampah. Bahkan, jauh sebelum adanya UU tentang Pengelolaan Sampah, sudah ada regulasi beserta petunjuk teknisnya, yakni Perda Kota Manado No. 7 tahun 2006 tentang pengelolaan Persampahan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan, dan Perwako No 7 tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Persampahan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan. Tapi keseluruhan isi dari perda dan juknis itu spiritnya masih seputar soal larangan, kewajiban, retribusi beserta sanksi bagi yang melanggar. Belum tergambar soal pembangunan sistem dan pelembagaan pengelolaan sampah. Belum lagi soal pemenuhan hak publik untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, ruang partisipasi masyarakat beserta mekanismenya, insentif bagi mereka yang melakukan pengurangan dan pengolahan sampah, hak pekerja/buruh sampah, riset dan pengembangan teknologi pengurangan/penanganan sampah serta pengembangan kapasitas masyarakat. Ringkasnya, belum tergambar adanya perubahan paradigma pengelolaan sampah. Jadi, bisa dikatakan, sejatinya –baik pemprov maupun pemda kabupaten/kota— belum memiliki renstra, atau rencana induk pengelolaan sampah, kami sarankan sebaiknya Pemkot Manado melakukan revisi Perda No. 7 tahun 2006 tersebut serta aturan lainnya yang mendukung, tentu dengan mengacu kepada UU. No. 18 Tahun 2008.
PELUANG MASYARAKAT
Pasal 21 UU. No. 18 Tahun 2008 dinyatakan pemda memberikan insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah, atau disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah. Pertanyaannya, insentif dalam bentuk apa yang akan diberikan pemerintah? Jika berbentuk uang atau pengurangan jumlah tagihan listrik, air atau telepon, mungkin banyak yang berlomba mengurangi sampah. Namun, ukuran apa yang akan dipakai sehingga bisa disebut telah melakukan pengurangan sampah? Apakah harus ditimbang per hari/per bulan berdasarkan catatan periodik tertentu? Yang harus dipikirkan pula, penimbul sampah bukan hanya rumah tangga saja, tapi industri.
Juga soal pemberian kompensasi (pasal 25) dari pemda kepada orang yang merasakan dampak negatif akibat penanganan sampah. Hal itu berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan serta kompensasi dalam bentuk lain. Dengan begitu masyarakat sedikit berlega dengan payung hukum ini. Setidaknya jaminan kepastian soal kompensasi, walaupun hal ini masih perlu diatur lagi dengan peraturan pemerintah dan political will pemda. Demikian pula soal partisipasi masyarakat. Pasal 28 menyebut masyarakat bisa berperan serta dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan pemda. Bagaimana praktiknya selama ini? Bagaimana kalau itu diselenggarakan oleh pihak swasta, apa masyarakat bisa berperan serta? Mekanismenya bagaimana? Peluang lain soal diaturnya gugatan perwakilan kelompok (class action) bagi yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan sampah (pasal 36). Ini memang cukup progresif, mengingat banyak kasus berkaitan dengan pemenuhan hak-hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat selalu ditolak, bahkan terabaikan.
Dengan kehadiran UU ini diharapkan pendekatan akhir (end pipe) pengelolaan sampah juga diubah. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pengelolaan sampah. PP ini ditujukan kepada perusahaan yang menghasilkan sampah berupa limbah maupun kemasan produknya. KLH selama ini menilai pengelolaan sampah hanya dibebankan kepada masyarakat. Bahkan, di lokasi TPA warga mengalami dampak yang begitu buruk yaitu kondisi lingkungan yang tidak sehat.
Salah satu isi PP tersebut adalah setiap industri harus bertanggung jawab terhadap kemasannya dan perusahaan wajib melabeli kemasan tersebut tentang petunjuk pengolahan selanjutnya. Point lainnya, perusahaan diminta membentuk badan atau asosiasi untuk membicarakan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah tersebut.
KLH berharap tiap perusahaan dapat menganggarkan biaya pengelolaan menjadi bagian internal perusahaan. Dalam waktu sepuluh tahun ke depan, 70 persen pengelolaan sampah seluruh industri di Indonesia sudah berjalan, dengan indikator tingkat kerusakan pada lingkungan. Diharapkan, implementasi UU dan PP ini membawa konsekuensi bagi daerah untuk menata ulang pengelolaan sampah, baik aspek kebijakan, metode, teknik maupun regulasinya
Memilih Sistem Pengolahan Sampah yang Ideal
Sistem sentralisasi adalah pemusatan pembangunan sampah kota di suatu lokasi atau TPA. Sementara sistem desentralisasi adalah membagi tempat pembuangan sampah kota di beberapa TPS (Tempat Penampungan sampah Sementara). Adapun sistem sentra-desentralisasi atau disingkat se-desentralisasi adalah menggabungkan kedua sistem tersebut dengan keberadaan TPA dan TPS. Penimbunan sampah hanya dengan mengandalkan sistem sentralisasi jelas tidak tepat karena membutuhkan lahan yang sangat luas. Namun, sistem desentralisasi bukan jawaban yang tepat karena volume sampah yang sangat besar tidak akan mampu ditampung oleh TPS yang tersebar di mana-mana. Bahkan, bukan tidak mungkinmalah menyebarkan polusi ke banyak titik di kota tersebut. Oleh karena masing-masing memiliki keunggulan dan mengatasi kendala pengelolaan sampah yang muncul. Adapun kemampuan masing-masing dalam menagatasi kendala yang muncul dalam pengelolaan sampah kota tersebut terdapat hasil survey dibawah ini.
K e n d a l a Sistem Sentralisasi Sistem Desentralisasi Sistem Se-Desentralisasi
1. Luas Lahan Terbatas TS TS S
2. Volume Sampah Sangat Besar S TS S
3. Pengumpulan Sampah Kurang Efektif TS S S
4. Dana Pengelolaan Sampah Terbatas TS S S
5. Kemampuan Teknologi Terbatas S TS S
6. Masyarakat Tidak Koperatif S TS S
7. Masyarakat Tidak Kreatif/Bisnis S TS S
8. Banyak Pengangguran TS S S
9. Dampak Luas TS S S
10. Pemda Tidak Responsif TS S S
Jumlah Yang Sesuai (S) 4 6 10
Keterangan : S=Sesuai TS= Tidak Sesuai
Sistem se-desentralisasi memiliki kemampuan tertinggi dalam mengatasi kendala pengelolaan sampah kota. Dari 10 kemungkinan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sampah kota di kota-kota besar, ternyata sistem se-desentralisasi yang paling mampu mengatasi kendala tersebut. Oleh karena itu, untuk kota-kota besar yang jumlah penduduknya banyak seperti: Jakarta dan kota satelitnya serta ibu kota profinsi lainnya di Indonesia seperti; Semarang, Medan, Makassar, Surabaya, Bandung, Manado, Kendari, dll. Sistem ini adalah yang paling sesuai, seyogyanya sistem tersebut diterapkan secara bertahap untuk membiasakan masyarakat dalam menghadapi era baru pengolahan sampah kota di wilayahnya.
Penerapan Sistem se-Desentralisasi untuk Kota Manado
Sistem se-desentralisasi merupakan sistem yang terbaik untuk Indonesia umumnya dan terkhusus Kota Manado, sebelum terdesak problem sampah seperti di kota-kota metropolitan. Sistem ini bertujuan mengurangi arus sampah ke TPA dengan membagi-bagi pengolahan sampah tersebut di beberapa titik yaitu sebagai berikut:
- Pengolahan Langsung Dari Sumber Sampah
- Pengolahan di TPS
- Pengolahan di TPA
Kesimpulan
SEBAGAI produk harian, sampah terus bertambah, dan bertambah. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi pemakaian. Beberapa hal praktis yang bisa dilakukan, antara lain membawa air dalam botol minum yang bisa diisi ulang, sehingga Anda tak perlu menambah sampah kemasan. Bila Anda telah mengurangi pemakaian botol plastik, berkurang juga sampah yang ada. Sama halnya dengan kertas yang menjadi sampah utama bagi perkantoran. Hindari pemakaian benda yang akan terbuang setelah sekali pemakaian. Jika memungkinkan, manfaatkan sejumlah benda sebelum itu dimasukkan ke kantong sampah. Gelas bekas air mineral, misalnya bisa dijadikan wahana pembibitan tanaman hias. Tas plastik bekas belanja sedapat mungkin dimanfaatkan sampai benar-benar tak dapat dipakai. Jika berbelanja, biasakan membawa tas plastik sendiri. “Dengan membawa tas plastik sendiri, akan mengurangi produksi sampah,” Yang juga bisa dilakukan, adalah mengajak pemilik pasar swalayan agar sebisa mungkin mengganti plastik belanjaan yang selama ini digunakan dengan kertas belanja, yang relatif mudah terurai. Sosialisasi mengenai pemisahan sampah organik dan non organik, atau sampah kering dan sampah basah sudah saatnya dilakukan. Pemerintah diharapkan memberi kesempatan atau peran langsung kepada masyarakat karena bila peran serta masyarakat tidak tampak, mereka tidak mau peduli. “Kalau memang paradigma sampahku adalah urusanku sudah melekat di masyarakat, akan semakin berkurang beban yang ditanggung pemerintah. Karenanya sedari awal prinsip 4R harus benar-benar diwujudkan yakni reduce, reuse, replace dan recycle”
Langganan:
Postingan (Atom)